Salah satu kelompok teater yang menjadi tempat berkembangnya seni pertunjukan teater
adalah teater sekolah. Teater sekolah atau lebih lazim disebut ekskul teater
merupakan wadah yang sengaja dibentuk oleh pihak sekolah. Tujuannya untuk
menjadi ajang pengembangan diri para siswanya melalui kegiatan seni pertunjukan
drama.
Lalu apa
perbedaan antara teater sekolah dengan teater mahasiswa dan teater umum? Proses
dan tujuan pembentukan. Teater mahasiswa atau teater umum terbentuk karena adanya
kesamaan minat dari para anggotanya pada seni pertunjukan drama lalu membentuk
kelompok untuk mengembangkan minatnya tersebut. Sedangkan teater sekolah
terbentuk karena adanya inisiasi sekolah untuk memberikan wadah bagi siswanya
untuk mengembangkan diri. Meskipun begitu, tidak jarang juga teater sekolah
terbentuk karena inisiasi dari para alumni sekolah tersebut yang menjadi
anggota teater di kampus atau di kelompok-kelompok teater umum.
Dari perbedaan tersebut, maka tidak heran jika minat dan motivasi dari teater sekolah dan teater kampus/umum berbeda. Sering kali ditemui adanya siswa yang "mendua" ketika pertama kali ikut ekskul teater. Menurut hemat penulis, hal itu tidak perlu disikapi dengan dahi berkerut. Pasalnya, saat-saat awal tersebut merupakan saat pencarian jati diri bagi siswa baru. Mereka masih belum tahu potensi dirinya dan bagaimana harus menggali dan mengembangkannya. Oleh karena itu, daripada bingung dengan para anggota baru yang selalu mendua, lebih baik menciptakan kondisi dan aktivitas teater yang membuat para siswa baru merasa tertarik untuk terus ikut.
Peran Pembina/Pelatih
Dalam perkembangannya, kegiatan teater sekolah telah menjadi sarana
pengembangan diri para siswanya yang
diatur khusus melalui kurikulum. Dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006, kegiatan
pengembangan diri ini telah
diatur sebagai berikut.
Pengembangan
diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan
diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan
dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap
peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi
dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga
kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler.
Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang
berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan
pengembangan karir peserta didik (Standar Isi 2006).
Peraturan ini
merata untuk seluruh jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar hingga
pendidikan menengah atas. Setiap minggunya, alokasi waktu yang dianjurkan
adalah 2 jam pelajaran/minggu.
Sebenarnya,
tidak ada aturan baku yang menetapkan bahwa salah satu kegiatan pengembangan
diri tersebut adalah teater. Namun, sepanjang yang penulis tahu, sebagian besar
sekolah mulai dari jenjang SD hingga SMA banyak yang menghadirkan kegiatan
ekskul ini di sekolahnya. Meskipun begitu, kegiatan kepramukaan dan Palang
Mereah Remaja masih tetap menjadi pilihan favorit setiap sekolah.
Nah, kembali
lagi pada pokok utama tentang teater sekolah, jika merujuk pada ketentuan tersebut, maka teater sekolah yang ideal
adalah yang diasuh/dibina oleh orang
yang mengerti teater. Orang tersebut tidak selalu harus guru dari sekolah
tersebut. Bisa jadi sekolah tersebut menunjuk seseorang di luar sekolah yang
dianggap mampu untuk membina teater sekolah tersebut. Yang pasti, agar kegiatan
pengembangan diri tersebut berjalan ideal, teater sekolah haruslah diasuh oleh
orang yang memiliki kemampuan di bidangnya.
Fungsi Struktur
Organisasi dalam Teater Sekolah
Lalu apa peran
ketua teater yang dipilih dari dan oleh siswa? Merujuk kembali pada kata-kata
“kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang
berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar,
dan pengembangan karir peserta didik”, maka wajar jika dalam teater
sekolah dibentuk struktur organisasi yang dijalankan oleh siswanya sendiri.
Tujuannya tak lain untuk memberikan pelajaran dan praktik kehidupan
sosial yang tidak mungkin bisa diberikan di dalam kelas. Oleh karena itu,
kegiatan berteater tidak selalu melulu latihan seni peran, melainkan juga
latihan berorganisasi yang tertib, terarah, dan terstruktur dengan jelas.
Kurikulum Teater
Sekolah
Mungkin ini
adalah topik yang jarang dibicarakan oleh para pembina maupun pelatih teater
pada umumnya. Mengapa? Mungkin karena kebanyakan pelaku teater berlatih secara
rutin hanya ketika akan menjelang pertunjukan. Hal ini juga masih dialami oleh
penulis sendiri, sehingga jika diminta untuk menjabarkan materi teater yang
runtutpun pasti masih akan meraba-raba. Namun, terlepas dari itu, jika ingin
kegiatan pengembangan diri melalui teater sekolah berjalan maksimal, setidaknya
ada panduan aktivitas yang bisa dijalankan.
Dalam buku
“Seni Teater” karya Eko Santosa dkk. yang ditujukan untuk siswa Sekolah
Menengah Kejuruan, materi teater secara global dibagi dalam 5 bab, yaitu: (1)
pengetahuan teater, (2) lakon, (3) penyutradaraan, (4) pemeranan, dan (5) tata
artistik. Dari lima bab tersebut masih dibagi-bagi lagi ke dalam beberapa
sub-bab yang menguraikan materi di setiap bab. Seluruh bab tersebut diajarkan
dalam kurun waktu 3 tahun, yaitu dari jenjang kelas X hingga kelas XII.
Jika buku karya
Eko Santosa tersebut menjelaskan hampir keseluruhan elemen-elemen dalam teater,
penjelasan dalam buku karya W.S. Rendra jauh lebih praktis. “Seni Drama untuk
Remaja” menyajikan dua materi utama dalam dunia teater, yaitu: pengetahuan umum
tentang teater dan berbagai latihan seni peran.
Lalu
bagaimana membagi semua materi tersebut pada peserta didik? Baiklah. Mari kita
coba menghitung-hitung perbandingan alokasi waktu yang ada dengan jumlah materi
yang perlu disampaikan. Jika dalam satu semester ada 5 bulan yang efektif (di
luar libur), maka ada 10 minggu efektif x jumlah pertemuan setiap minggu.
Jumlah tersebut dikalikan masa aktif siswa mengikuti kegiatan ekskul, yaitu
rata-rata 2 tahun atau 4 semester (kelas tiga sudah tidak aktif). Hasilnya
adalah jumlah pertemuan efektif yang biusa digunakan untuk kegiatan latihan
teater selama dua tahun.
Berikut ini
adalah contoh simulasi perhitungannya.
1 semester = 10 minggu efektif
10 minggu x
4 semester = 40 minggu
40 minggu x jumlah pertemuan = jumlah pertemuan selama masa keanggotaan aktif
Jika
diasumsikan bahwa satu minggu ada satu pertemuan, maka dalam 2 tahun akan
ada 40 kali pertemuan. Dengan begitu, setiap siswa akan mengalami 40 kali latihan rutin selama ia menjadi anggota aktif.
Dengan
mengetahui hal tersebut, tinggal bagaimana langkah setiap pelatih/pembina memanfaatkan
waktu tersebut untuk aktivitas teater. Sehingga pada akhirnya, kegiatan teater
tersebut menjadi lebih efektif dan tidak berputar-putar tanpa tujuan. Selain itu, dengan pengetahuan
tersebut, pelatih/pembina bisa memberikan materi latihan yang proporsional,
tidak berat sebelah.
Begitulah gambaran teater sekolah secara umum dari sudut pandang penulis. Penulis sangat berharap akan adanya sumbang saran yang membangun demi perkembangan seni teater di tanah air.
Salam Budaya!
Jika iya, bagikan posting ini.